Sabtu, 14 Desember 2013

Belajar Menuju Allah : Visi Akhirat

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Saya mau sharing dikit tentang visi akhirat saya + mengajak teman-teman menetapkan visi juga. Let's go!

Sebelum ke visi akhirat, kita baca dulu kisah salah seorang sahabat nabi yang bernama Ukasyah berikut.

Di penghujung usianya, saat Rasulullah sudah mulai sakit-sakitan, beliau meminta kaum muslimin untuk berkumpul dalam sebuah majelis di masjid. Para sahabat berkumpul untuk memenuhi undangan nabiyullah tercinta dan bersiap-siap mendengarkan pesan apa yang akan disampaikan Rasulullah.

Rasulullah segera naik mimbar seraya berkata,"Wahai kaum muslimin, siapa yang pernah aku sakiti? Berdirilah! Balas aku sekarang! Karena aku tidak mau menerima balasan itu di akhirat." 

Rasulullah mengulang perkataan tersebut hingga tiga kali. Sebelumnya para sahabat tidak ada yang berdiri. Kemudian setelah tiga kali, berdirilah Ukasyah sembari berkata, "Ya Rasulullah, demi Allah, demi Rasulullah, demi Ayah dan Ibuku, andaikan engkau tidak berkata itu tiga kali , aku tidak akan berdiri. Tapi karena engkau tidak berhenti bertanya, aku pun memberanikan diri untuk berdiri. Ya Rasulullah, ketika Perang Badar dulu, aku berdiri di sebelahmu. Entah sengaja atau tidak tongkatmu itu mengenai tubuhku. Sakit, Ya Rasulullah. Maka hari ini aku ingin membalasmu dengan tongkat itu, wahai Rasulullah."  

Apa jawaban Rasulullah? “Wahai Ukasyah, jauh nian dari sikap sengajaku untuk memukulmu. Tapi bila engkau menghendaki membalas memukulku, pukullah.”

Seketika suasana majelis menjadi gaduh. Rasulullah dengan senyumnya, mengangkat tangan member tanda para sahabat berlaku tenang. Kemudian Rasulullah mengutus Bilal untuk mengambil tongkatnya di rumah Fatimah. Sesampainya di rumah Fatimah, Bilal ditanya untuk apa tongkat tersebut. Bilal menjawab, “Tongkat ini untuk memukul Rasulullah”.

Putri kecintaan Rasulullah itu menjawab, “Bukankah Rasulullah sedang sakit? Siapa yang tega mau memukul Rasulullah?.” Bilal tidak menjawab. Tongkat itu pun dibawa ke masjid lalu diserahkan kepada Rasulullah.

Rasulullah mengatakan, “Wahai Ukasyah, tongkat inilah yang aku gunakan di Perang Badar. Ambillah dan pukullah aku dengan tongkat ini.”  Rasulullah pun menyerahkannya ke tangan Ukasyah.

Suasana mulai tegang. Semua sahabat bergerak. Semua berdiri. Saat itulah, Abu Bakar dan Umar r.a. bicara, "Hai Ukasyah! kami sekarang berada di hadapanmu, pukul qishas-lah kami berdua, dan jangan sekali-kali engaku pukul Rasulullah !" Mungkin saat itu Umar meraba pedangnya. Seandainya saja, diizinkanakan aku penggal kepala orang yang menyakiti Rasulullah. Rasulullah menahan dua sahabatnya. Berkata sang pemimpin yang dicintai ini: "Duhai sahabatku, duduklah kalian berdua, Allah telah mengetahui kedudukan kamu berdua!" 

Kemudian berdiri pula Ali bin Abi Tholib sambil berkata. Kali ini lebih garang dari sahabat Abu Bakar : "Hai Ukasyah! Aku ini sekarang masih hidup di hadapan Nabi SAW. Aku tidak sampai hati melihat kalau engkau akan mengambil kesempatan qishas memukul Rasulullah. Inilah punggungku, maka qishaslah aku dengan tanganmu dan deralah aku dengan tangan engkau sendiri!" 

Ali tampil ke muka. Memberikan punggungnya dan jiwa serta cintanya buat orang yang dicintainya. Subhanallah, dia tak rela sang Rasul disakiti. Ia merelakan berkorban nyawa untuk sang pemimpin. Nabi pun menahan. "Allah swt telah tahu kedudukanmu dan niatmu, wahai Ali!" Ali surut, bergantianlah kemudian tampil dua kakak beradik, Hasan dan Husein. "Hai Ukasyah! Bukankah engkau telah mengetahui, bahwa kami berdua ini adalah cucu kandung Rasulullah, dan qishaslah kami dan itu berarti sama juga dengan mengqishas Rasulullah sendiri!" Tetapi Rasulullah menegur pula kedua cucunya itu dengan berkata. Duduklah kalian berdua, duhai penyejuk mataku." 

Dan akhirnya Nabi berkata: “Hai Ukasyah! pukullah aku jika engkau berhasrat mengambil qishas!" "Ya Rasulullah! sewaktu engkau memukul aku dulu, kebetulan aku sedang tidak lekat kain di badanku," Kata Ukasyah.

Separuh dari para sahabat yang berada dalam majelis tersebut berteriak tak kuasa menahan tangis mereka, “Ya Rasulullaaaah….” Sebagian lagi berteriak, “Ya Ukasyaaah… tega-teganya engkau, Ya Ukasyaaah.”

Rasulullah mengikuti keinginan Ukasyah. Beliau kemudian menanggalkan jubahnya sehingga terlihat bagian punggung dan dada beliau.

Seolah tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, Ukasyah meletakkan tongkat dan memeluk Rasulullah erat-erat. Sambil menangis, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mana mungkin aku tega memukulmu? Aku hanya ingin tubuh yang hina ini bersamamu di akhirat, wahai Rasulullah.”

Setelah mendengar Ukasyah, Rasulullah bersabda, “Barang siapa ingin melihat calon penghuni surge, lihatlah orang ini.”

Para sahabat ikut terharu. Setelah itu, Ukasyah dan para sahabat langsung pulang ke rumah masing-masing. Rasul pun demikian. Sesampainya di rumah, beliau mengalami sakit keras yang mengantarkannya pada keperihan momen sakaratul maut. Rasulullah berkata, “Ya Allah… sakit nian sakaratul maut ini. Aku mohon kepada-Mu, pindahkan semua rasa sakit sakaratul maut kepadaku. Janganlah umatku yang menanggungnya. Jangan umatku, Ya Allah. Ummati… Ummati… Ummati….” Dan kemudian meninggallah Rasulullah.

Saya iri dengan Ukasyah, saya ingin memeluk Nabi. Setiap hari saya berdoa, “Ya Allah, aku ingin memeluk Muhammad SAW. Maka pantaskan diriku, bimbing diriku ke jalan hidup yang Engkau ridhoi, bukan jalan yang Engkau murkai.”

(Dikutip dari buku Best Seller “ON” karya Jamil Azzaini dengan beberapa perubahan)

Subhanallah :’)

Jujur waktu pertama kali membaca kutipan di atas, saya merasakan goncangan yang luar biasa di dalam hati. Entah itu haru, sedih, bahagia, sulit didefinisikan.

Irikah juga kita dengan Ukasyah? Dia dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah langsung, bahkan sempat memeluk beliau sebelum ajal menjemput Rasulullah.

Rindukah kita dengan Rasulullah? Ditengah penderitaannya merasakan 300 tusukan pedang saat sakaratul maut, beliau masih memohon untuk ditambah lagi sakitnya demi keringanan sakaratul maut untuk umatnya. MasyaAllah, beliau mengkhawatirkan kita, padahal kita belum tentu merasa ada yang mengkhawatirkan kita seperti beliau. Mana wujud kasih sayang dan terima kasih kita sebagai umatnya? Betapa hinanya kita.Astagfirullahal'adziim ;( 

Yaa Nabi Salaam ‘Alaikaa…
Yaa Rasul Salaam Salaam ‘Alaikaa…
Yaa Habiib Salam ‘Alaika…
Sholawatullaah ‘Alaika….

Setelah saya membaca kisah tersebut saya tiba-tiba merasakan suatu perasaan rindu, suatu impian, dan suatu harapan supaya suatu saat di akhirat nanti, di surga tepatnya, saya dapat memeluk Rasulullah dengan rasa rindu yang sangat dalam, rasa haru dan bahagia sekaligus. Kemudian saya membayangkan Rasulullah mengusap-usap kepala saya sambil tersenyum bangga. Entah kenapa doa, harapan dan semangat saya untuk berbuat baik dan menghidupkan sunnah-sunnah juga menjadi bertambah, ingin rasanya supaya dipantaskan oleh Allah untuk memeluk Rasulullah seperti Ukasyah di akhirat nanti dan supaya bisa merasakan betapa sayangnya Rasulullah kepada kita dengan Syafa’at dari beliau.

Inilah visi akhirat, visi yang mengarahkan kita ke jalan Allah, jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi nikmat, bukan jalan yang dimurkai-Nya, dan bukan pula jalan yang sesat. Menjadikan kita hidup dengan semangat, terarah, jelas, dan cerah. Memantaskan hal-hal yang terbaik untuk kita dengan cara menjadi yang terbaik juga.

Mau? 
Mana visi akhiratmu?


Maaf bila ada kesalahan, saya hanya berusaha berbagi. Kebenaran hanya milik Allah SWT.

Semoga Bermanfaat.

Terima Kasih

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh :)

0 komentar:

Posting Komentar

Berilah kritik dan saran yang membangun
Terimakasih ;)